Nada yang Menenangkan: Pendidikan Musik bagi Anak dengan Tantangan Emosional

Oleh: Sarah Gracyntia Juliana, Pamela Hendra Heng, Sri Tiatri, serta Jap Tji Beng*

MUSIK Sering dijuluki sebagai bahasa universal—suatu bentuk komunikasi yang melebihi kata-kata dan menyentuh hati secara langsung.

Sebagaimana telah disampaikan oleh Ludwig van Beethoven, "Musik adalah pengungkapan yang lebih tinggi daripada semua kebijaksanaan dan filsafat."

Untuk anak-anak, khususnya pada tahap-tahap awal perkembangan mereka, musik tidak hanya merupakan sumber kegembiraan saja.

Dia berperan signifikan dalam mendukung anak-anak untuk memahami, menyampaikan, serta mengatur emosinya.

Musik bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga berfungsi sebagai alat yang ampuh untuk mengembangkan kesadaran emosi, kekuatan mental, serta rasa simpati.

Memulai pembelajaran musik dari kecil bisa membentuk dasar emosi yang kuat, membantu anak berkembang menjadi individu yang bijak dalam hal perasaan dan sensitif terhadap iklim sosial di sekitarnya.

Kecerdasan emosional anak

Satu metode efektif untuk menggali pemahaman tentang bagaimana musik berinteraksi dengan pertumbuhan emosi pada anak dapat dilihat lewat perspektif teoritis ini. Emotional Intelligence (kecerdasan emosional) yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman.

Dalam konsep ini, Goleman menguraikan lima aspek utama: kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial.

Menariknya, kelima aspek ini dapat dilatih secara alami melalui kegiatan bermusik—khususnya saat anak belajar memainkan alat musik seperti piano.

Ketika memainkan piano, sang anak tak cuma diajarkan untuk menuruti notasinya saja, melainkan juga dituntun untuk mencicipi atmosfer yang ada dalam setiap nada tersebut—bisa jadi nada-nada itu keluar dengan lembut, kuat, gembira, atau penuh kesedihan.

Pengalaman ini memungkinkan anak untuk mengenal berbagai detil emosional dari nada suara, yang kemudian akan menajamkan kesadaran mereka tentang perasaan baik milik mereka maupun orang di sekitar mereka.

Di sini lah kemampuan kecerdasan emosional mulai berkembang, menyediakan bagi anak-anak dengan perbendaharaan kata emosi yang kaya, meskipun pada awalnya mereka belum bisa mengekspresikannya melalui ucapan.

Bagaimana pembelajaran memainkan piano bisa meningkatkan kecerdasan emosional anak?

Mempelajari piano pun memiliki peranan penting dalam membangun ketekunan serta keterampilan mengatur emosi.

Anak-anak di tingkat pendidikan dasar sering kali menghadapi ketidakstabilan emosi seperti mudah merasa frustasi, cemas, atau kesulitan untuk tetap berkonsentrasi.

Dengan berlatih piano secara konsisten, mereka mempelajari cara mengontrol kecepatan permainan, merespons kesalahan dengan sabar, dan mengekang hasrat untuk buru-buru.

Langkah ini membantu mereka belajar kesabaran dan pengendalian diri saat berhadapan dengan tantangan.

Sejalan dengan berjalannya waktu, pendidikan terus-menerus ini menciptakan disiplin diri dan mendukung anak dalam menangani ketakutan serta fluktuasi emosional mereka dengan cara yang lebih baik.

Berdasarkan beberapa studi, waktu terbaik untuk mengawali pelajaran musik yang resmi berkisar pada usia 5 sampai dengan 7 tahun.

Saat ini, pertumbuhan keterampilan motorik halus serta kemampuan memproses emosi sedang berkembang dengan cepat.

Dasar yang dipersiapkan sejak awal ini bisa memiliki pengaruh jangka panjang pada kesejahteraan mental dan perkembangan sosial si anak.

Sayangnya, banyak orang tua salah berpikir bahwa keuntungan dari pendidikan musik akan terlihat dengan cepat—hanya dalam beberapa bulan atau setahun saja.

Sebagian berharap ada perubahan signifikan dalam emosi atau prestasi akademik anak setelah enam bulan mengikuti les piano.

Saat harapannya tak kunjung menjadi kenyataan, mereka pun berpikir untuk menyerah.

Padahal, satu tahun pertama, sejatinya baru tahap awal dari proses yang panjang. Perkembangan emosi, kedisiplinan, dan manfaat kognitif dari belajar musik—terutama instrumen seperti piano—memerlukan waktu, pengulangan, dan komitmen jangka panjang.

Apabila orang tua menetapkan musik sebagai salah satu alat untuk mengoptimalkan pertumbuhan anak, maka caranya perlu konsisten, bukannya hanya penyelesaian cepat.

Pendidikan musik sebaunya bukan sekadar dijadikan kegiatan ekstra, tetapi harus menjadi elemen penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.

Jika pembelajaran musik berakhir terlalu cepat, tidak hanya interupsi dalam proses belajar saja, melainkan juga kesempatan untuk mengembangkan kemampuan emosi si anak menjadi tertunda.

Musik bisa disamakan dengan "tempat gym untuk emosi" — sebuah area di mana anak-anak secara berkala meneroka dan mengenal lebih jauh tentang perasaannya.

Bahkan sebelum mereka mampu merangkai kata-kata untuk mengekspresikan apa yang dirasakan, bermain piano memberi jalan bagi lahirnya ekspresi emosional yang lebih dalam.

Melalui proses ini, anak belajar mengenali dan menyampaikan emosi dengan cara yang autentik, membentuk kecerdasan emosional yang kuat sejak dini.

Seringkali, anak yang pemalu dan ragu untuk bicara di depan kelas malah menemukan keberaniannya melalui musik.

Tampil dalam resital piano, misalnya, dapat menjadi pengalaman yang menguatkan—membantu mereka menyadari bahwa mereka punya cara tersendiri untuk didengar dan dihargai.

Keuntungan dari musik dalam membantu anak-anak menangani emosinya pun terlihat dengan jelas di kehidupan sehari-hari.

Seorang anak yang mulai mengikuti les piano sejak usia dini sempat menunjukkan gejolak emosi yang cukup intens.

Ketika perasaannya sedih, dia dapat menjadi marah-marah saat kelas berlangsung; mengalami hambatan membuatnya menangis, berteriak, dan memencet tombol piano dengan kasar untuk meluapkan kekesalan.

Setiap sesi latihan tampaknya berubah menjadi medan uji kesabaran—tidak hanya untuk si anak, tapi juga bagi sang guru serta orang tua yang menemani si anak.

Akan tetapi bukannya mengaku kalah, kedua belah pihak tersebut lebih memilih untuk terus maju bersama-sama. Orang tua pun masih meneruskan pelajaran dengan ketekunan yang tinggi, serta secara rutin melakukan diskusi dengan para guru.

mencoba menghasilkan lingkungan belajar yang mendukung.

Guru juga mengubah metode mereka menjadi lebih penuh kasih sayang dan membebaskan siswa untuk belajar meredam dirinya sendiri.

Mereka memutuskan untuk tidak berhenti dari proses tersebut—tetapi malah menemani dengan konsistensi—dan pada akhirnya hal itu memberikan hasil yang diinginkan.

Mendekati tahun kedua, si anak sudah tidak meledak-leduk marah seperti dulu. Meskipun dia masih sesekali merasakan kekesalan, namun saat ini ia jauh lebih dapat menghadapi tantangan, berusaha untuk bangkit kembali, serta menuntaskan tugas belajar dengan motivasi yang selalu ada.

Dalam era modern yang penuh dengan kecepatan seperti saat ini, dimana masalah emosi anak-anak kerap kali tidak terdeteksi, pendidikan musik menyediakan jalan yang halus namun dalam menuju pemulihan dan perkembangan.

Di tiap sentuhan pada alat musik dan ritme yang diputar, anak-anak diajarkan untuk menyadari diri mereka, merasakan emosi mereka, serta meluapkannya dengan cara yang tidak dapat diekspresikan melalui kata-kata.

Ini bukan tentang jadi pemain piano luar biasa, tetapi lebih kepada berkembang sebagai individu yang lebih memahami perasaan diri sendiri, lebih sensitif terhadap lingkungan sekitar, serta lebih tangguh dalam menghadapi kehidupan.

Dengan dukungan berkelanjutan dan pembelajaran yang terstruktur—khususnya melalui instrumen seperti piano—musik bisa menjadi bagian penting dalam perjalanan hidup anak.

Hanya diperlukan keberanian untuk memulai serta kesediaan bertahan dalam permainan meski kadang prosesnya tak selalu mulus.

Seperti yang telah disampaikan oleh John Dewey, "Pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan; pendidikan adalah hidup itu sendiri."

Pada perjalanan pembelajaran musik, anak-anak bukan hanya mengantispasi kehidupan mendatang, melainkan tengah hidupinya—menyusuri jalan pengertian, kesadaran emosi, serta pertumbuhan di dalamnya.

Musik memungkinkan anak untuk tumbuh sebagai individu lengkap: berfikir, bermacam perasaan, dan gagah mencoba lagi.

Bila orang tua serta guru berperan sebagai peneman yang penuh kesabaran dan mempercayai jalannya, maka tiap melodi yang dipentaskan akan jadi pergerakan kecil mendekati pembentukan anak yang komprehensif, kuat, dan siaga menyongsong hidup dengan jiwa yang telungkup.

*Sarah Gracyntia Juliana, Seorang mahasiswi program pascasarjana dalam bidang Ilmu Pengetahuan Psikologi di Universitas Tarumanagara

Pamela Hendra Heng bersama dengan Sri Tiatri dari Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Jap Tji Beng, Dosen di Fakultas Teknologi Informasi Universitas Tarumanagara