Gandang Ahung pada Upacara Tiwah: Nada Iman dan Gaya Hidup

● Gandang Ahung dalam upacara Tiwah tidak hanya berfungsi sebagai musik, tetapi juga sebagai media spiritual.

● Modernisasi, deforestasi, dan marginalisasi budaya mengancam kelangsungan bebunyian sakral seperti Gandang Ahung.

● Perlindungan warisan suara mengharuskan adanya pemeliharan kawasan adat serta pendidikan musik yang didukung oleh masyarakat setempat.

Suatu hari sebelum fajar di tahun 2015, saya menempuh perjalanan sejauh 109 kilometer dari Palangka Raya ke sebuah desa di daerah aliran Sungai Katingan, Kalimantan Tengah. Setibanya di sana, suara Gandang Ahung, gong ensambel sakral dalam upacara kematian Tiwah, menggetarkan dada saya. Frekuensinya memenuhi seluruh ruang, menyatukan manusia, roh, dan alam dalam satu tarikan napas. Beberapa orang menutup mata, hutan di luar seolah ikut bersenandung.

Saat musik bergema, ritual pun dimulai: para pengikut ini melakukan gerakan, menari memutar di sekitar area di mana perayaan Tiwah sedang dilangsungkan. Tarian mereka terdiri dari langkah tangan dan kaki unik yang sesuai dengan ritme lagu tersebut, ditemani oleh baram , minuman khas tradisional dari Katingan.

Bunyi Gandang Ahung terus bergema, mengundang roh-roh dari hulu dan hilir untuk hadir dan menerima persembahan darah dari hewan kurban, sebuah bagian penting untuk memastikan arwah bisa menempuh jalan ke alam atas yang oleh penduduk lokal disebut sebagai “Lewu Rami je dia Kasene Beti Lewu Tatau Habaras Bulau Rundung Janah dia Bakalesu Uhat,” desa abadi yang penuh kemuliaan dalam kosmologi agama Hindu-Kaharingan.

Gandang Ahung bukan hanya warisan budaya, melainkan bagian tak terpisahkan dari cara komunitas Suku Dayak Katingan Awa memahami hidup, kematian, dan hubungan mereka dengan alam.

Akan tetapi, ritual suci tersebut sekarang berisiko lenyap lantaran semakin banyak penebangan hutan yang terjadi di Kalimantan. Di samping itu, pergolakan budaya dampak dari modernisasi pun secara bertahap mulai meredupkan tidak hanya hal ini. Lingkungan fisik, namun tidak terbatas pada itu saja, melainkan juga pemandangan suara, kosmologi, serta ritual seperti Tiwah. Jika kebisingan ini berhenti, Oleh karena itu, lenyap pula metode berfikir yang sudah ditinggalkan melalui masa generasi. .

Tiwah Upacara: Saat Suara Menjadi Tradisi

Tiwah Adalah ritual pemakaman tahap dua di dalam adat istiadat Suku Dayak Katingan Awa, suatu prosesi bersama yang bertujuan bukan sekadar menangani mayat, melainkan juga memperbaiki hubungan antara manusia, roh, serta lingkungan sekitar.

Seiring bertahun-tahun, keluarga, warga sekitar, serta tokoh agama bersatu untuk merancang acara tersebut. Di dalam ritual itu, tak terdapat "spectator", melainkan setiap orang turut ambil bagian. Remaja memberikan bantuan, sementara guru rohani mengarahkan, dan keseluruhan masyarakat menyimak bukan sekadar dengan pendengaran, tapi juga hadir sepenuhnya.

Pada upacara Tiwah, suara tidak bertujuan sebagai hiburan. Justru ia berperan sebagai elemen penting. kata-kata untuk bercakap dengan roh, memperingati mereka yang sudah tiada, serta menyambung kembali jalinan hidup yang lemah.

Gandang Ahung, bersama dengan resonansi dan getarannya, berperan penting dalam upacara Tiwah; alat ini menjadi pintu gerbang bagi liau (roh) agar dapat mencapai Lewu Tatau.

MENARIKNYA, Gandang Ahung selalu berubah-ubah sehingga tidak pernah terdengar monoton, karena dapat dipindahkan kemana pun sesuai dengan keperluan upacara tertentu. Hal ini menguatkan bahwa bunyi tersebut tidak terlepas dari lingkungan alam seperti tanah, Sungai, serta pohon-pohon disekitarnya.

Di bagian barat, pembelajaran musik dilakukan melalui notasi, irama, serta tekniknya. Namun di daerah Katingan Awa, nada berasal dari interaksi, baik antara para pemusik, masyarakat sekitar, maupun kehadiran rohani. Ketika memainkan Gandang Ahung pada acara Tiwah, si pemain tak hanya mengikut suatu ritme tetap; mereka justru menyinkronkan detak alat Musik tersebut sesuai pergerakan badan penari. Suara yang dipilih bukan didasarkan atas skor tertulis, tapi lebih kepada emosi dan kesesuaian 'yang tepat' waktu itu, seperti tercermin dalam ikatan sosial yang ada selama prosesi adat. Disinilah bunyi digunakan sebagai sarana komunikasi, bukannya sekedar sebuah hiburan semata.

Saya berkonsultasi dengan pemuka adat seperti Pak Napin dan Pak Senty, mereka menyebutkan bahwa permainan Gandang Ahung tidak dinilai dari jumlah detik atau ketukan, tetapi lebih kepada pengendalian nafas serta kepekaan intuitif sesuai ritme musiknya. Kecepatan tabuh yang pelan merupakan alunan ideal untuk ritual Tiwah, sebab harus dihindari agar tidak menjadi terlalu kencang dikarenakan salah satu tujuannya adalah mendampingi gerak tarian Manganjan. tari khusus untuk acara Tiwah .

Menjaga bunyi, merawat kehidupan

Pembalakan hutan, polusi sungai, serta pemaksaan keluar dari masyarakat asli bukan saja membahayakan sisi fisik alam. Dia juga menghilangkan lanskap suara yang merupakan elemen dalam ritual serta kosmologi setempat.

Saat hutan hilang, bukan hanya spesies yang punah, suara-suara seperti Gandang Ahung dan makna mendalam yang dikandungnya juga perlahan memudar. Sebab, alat musik ini tak sekadar dimainkan, melainkan dihidupkan dalam konteks ritual yang bergantung pada alam: kayu untuk membuat gendang, tempat untuk upacara tiwah di tengah kampung, dan kehadiran roh-roh yang diyakini bersemayam di pepohonan, danau dan sungai.

Saat hutan digunduli atau diubah jadi kebun kelapa sawit, tempat bagi suara-suara yang berarti juga lenyap. Begitu pula metode masyarakat dalam mengartikan hidup, kematian, serta hubungannya dengan lingkungan pun sirna.

Hindu-Kaharingan sendiri, walaupun diakui oleh pemerintah, Seringkali hanya dianggap sebagai "mitos rakyat" atau "kebiasaan kuno." Praktek-praktek semacam Tiwah hampir tidak pernah ditempatkan di media massa utama, apalagi dalam lingkaran ilmu pengetahuan nasional.

Apabila Indonesia benar-benar serius tentang pendidikan serta melestarikan kebudayaan, kita perlu mengubah pandangan terhadap tradisi suara seperti Gandang Ahung tidak hanya sebatas benda koleksi, melainkan menjadikannya filosofi hidup dan warisan adat.

Tradisi ini memiliki aturan, norma, serta cara kerja tersendiri yang sebanding dengan berbagai teori musik klasik. Oleh karena itu, tradisi tersebut harus diajar, dihargai, dan diterapkan dalam kehidupan, tidak cukup hanya direkam kemudian terlupakan.

Tindakan nyata yang bisa dipertimbangkan mencakup pelindungan kawasan hutan tradisional sebagai area suara, menyelaraskan pembelajaran musik dengan konten setempat dalam kurikulum sekolah, dan mendokumentasikan upacara budaya melibatkan partisipasi langsung masyarakat.

Program seperti School of Living Traditions (SLT) di Filipina, yang diprakarsai oleh Komisi Nasional untuk Kebudayaan dan Seni (NCCA), telah sukses menjaga keberlangsungan seni dan musik tradisional dengan metode pembelajaran informal. Dalam hal ini, mereka menggandeng pakar budaya setempat menjadi guru dalam proses tersebut. Proyek ini telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai contoh utama dalam melestarikan warisan budaya tidak benda.

Berikut adalah langkah-langkah yang perlu diambil untuk memastikan bahwa suara-suara seperti Gandang Ahung tak sekadar jadi kenangan, namun juga terus aktif sebagai bagian dari rutinitas harian warga Katingan Awa serta seluruh masyarakat Indonesia.

Artikel ini awalnya dipublikasikan di The Conversation , sebuah website berita nonprofit yang mendistribusikan wawasan ilmiah serta hasil penelitian para ahli.

  • Cerita dibalik genderang 'Moko', instrumen suci asli dari Kepulauan Alor-Pantar
  • Pelajaran dari Sukatani: Meski punk tertekan, bisakah musik tetap berlawanan?

Mohammad Rayhan Sudrajat tidak berprofesi sebagai pekerja, consultant, pemegang saham, ataupun penerima dana dari entitas manapun yang dapat memperoleh keuntungan dari tulisan ini. Ia juga menyatakan tak adaafiliasi tambahan selain hal-hal yang sudah tercantum sebelumnya.